Menunggu Bus
Minggu, 11 November 2012by Jessica Ratna Sari |
1 comments
|
Labels:
Cerita Pendek
Waktu telah menunjukkan
pukul delapan malam. Gelap malam begitu pekat tanpa bintang dan udara malam yang
dingin oleh semilir angin. Aku bergegas pulang dari segala aktivitasku di
kampus hari ini. Begitu melelahkan, menguras banyak tenagaku, dan juga uang
saku. Aku melewati jalan setapak dekat kandang rusa. Suasana begitu sepi, hanya
sinaran lampu jalan yang menemani dan aku terus berjalan sampai stasiun UI.
Sampai aku pada suatu
tempat. Langkahku terhenti dihadapan lembaran besar catatan jadwal
keberangkatan dan kedatangan kereta api di stasiun UI. Aku menoleh sedikit
kebelakang, sepiku kini berubah melihat antrean di loket yang ternyata lumayan
panjang dan ramai. Pandanganku kembali pada catatan jadwal dan menilik jadwal
kereta tujuan Tanah Abang yang akan kunaiki. Ternyata sudah habis rangkaian
kereta commuter line ke Tanah Abang.
Sebenarnya ada satu rangkaian kereta ekonomi terakhir, tetapi masih harus
menunggu satu jam lagi. Aku memutuskan untuk naik bus saja karena menunggu itu
hal yang paling menyebalkan, apalagi sampai satu jam.
Kakiku kembali lanjut
melangkah ke arah jalan raya yang melewati Gang Sawo. Aku melewati sisi rel
kereta api. Di sebelah kananku, terdapat kios-kios yang memenuhi area stasiun
UI. Kios bakso dengan latar berwarna cokelat, meja papan memanjang yang hanya cukup
menaruh mangkuk bakso. Kios yang ala kadarnya, tapi banyak didatangi orang. Terlihat
ramainya pembeli saat aku melintas di depan kios itu dan aroma bakso yang
sangat nikmat. Di sebelah kios bakso ada deretan kios lainnya yang masih buka
pada malam itu. Adapun kios itu, kios aksesoris, kios buku, kios alat tulis,
kios nasi uduk, dan gudang binder. Semua kios masih berlomba-lomba mendapat
keuntungan dari dagangannya.
Langkahku kembali
terhenti. Aku menoleh pandangan ke kiri dan kanan saat ingin menyebrang di rel
kereta, waspada akan kedatangan kereta sebelum aku menyebrang. Benar saja,
terlihat dari kejauhan kereta api sedang melaju menuju arah selatan dan kereta
api menuju arah utara siap berangkat kembali setelah transit beberapa menit di
stasiun UI. Saat aku dan beberapa orang lain di sampingku menunggu kereta api
melintas, terasa tepukkan di pundakku, “Hei, Je! Mau pulang?” sapa Ausof, teman
kampusku.
“Eh Sof, iya mau
pulang. Kok lu baru pulang juga?” jawabku dengan senyuman bersahabat.
“Iya abis nganterin
Nida pulang. Tuh dia udah naik kereta, (sambil menunjuk ke arah kereta yang
dinaiki Nida, pacarnya) Nyebrang yuk!” ajak Ausof.
Kereta api dari dua
arah tersebut sudah lewat, dengan sigap orang-orang langsung menyebrang. Aku
pun turut menyebrang dan melanjutkan perjalanan pulang bersama Ausof. Aku dan
Ausof melewati sebuah gang yang membentang sepanjang jalan. Beberapa sekat
memenuhi ruang jalan oleh para pedagang binder, alat tulis, aksesoris, ikat
pinggang, dan beberapa kios fotokopi. Masih ramai kios-kios itu oleh para
mahasiswa yang membutuhkan alat tulis atau kebutuhan tugas kuliah mereka.
Tidak banyak
percakapanku dengan Ausof. Mungkin kami sudah terlalu lelah seharian di kampus
sehingga hanya fokus dengan jalanan yang kami lewati. Aku dan Ausof terus
berjalan sambil memandangi suasana malam di sekitar kampus yang masih ramai
dengan pedagang dan mahasiswa. Banyak transaksi yang kami saksikan, sampai
keahlian tukang nasi goreng dengan cekatannya menuangkan kecap dan mengaduk masakan.
Terlihat lezat, membuatku iri dan ingin cepat sampai rumah untuk menyantap
makanan selezat itu di rumah.
“Je, nggak pake ngiler juga kali ngeliatnya
hahahaha,” sapaan canda Ausof yang mengagetkanku sambil memandang tukang nasi
goreng.
“Yeee, sial lu ngagetin
gue aja. Iya nih laper jadi pengen nasi goreng. Udah yuk cepetan jalannya biar
cepet nyampe terus makan di rumah hahaha,” ajakku kepada Ausof sambil
mempercepat langkah kaki kami.
Sampailah aku dan Ausof
di sudut jalan raya Margonda. Di sini aku berpisah dengan Ausof. “Je, duluan
yaa. Hati-hati lu, jangan mau diculik hahaha,” canda Ausof untuk yang kesekian
kalinya.
Ausof naik angkot D11
arah PAL sedangkan aku berjalan sedikit ke arah kanan mencari tempat menunggu bus
yang nyaman. Bus yang akan kunaiki memang lama datangnya. Sambil mencari tempat
menunggu bus, lagi-lagi aku memandang sekitar. Jalan raya yang sangat ramai
oleh lalu lalang mobil, motor, dan bus-bus besar. Para pedangan di pinggir
jalan tampak membentuk deretan panjang. Dagangan mereka bukan lagi alat tulis
atau tempat fotokopi, tetapi kebanyakan tempat makan dan tempat printing. Seberang jalan juga tidak
kalah ramainya dari deretan tempatku berada. Toko, salon, rumah makan, dan
minimarket berderet memenuhi ruas pinggir jalan sepanjang Margonda.
Hari semakin malam,
waktu sudah menunjuk pukul setengah sembilan. Aku menunggu di sebuah warung
kecil, kira-kira berukuran 1 x 2 meter berlatar warna merah dengan gambar
sponsor merek rokok “Mild”. Warung itu berada tepat di samping rumah makan “Ayam
Bakar Fajar”. Kebetulan sekali ada kursi panjang yang sudah agak lusuh di depan
warung. Kursi itu bisa menjadi tempat singgahku sementara. Kusapa Ibu warung
minta izin. “Numpang duduk ya Bu, mau nunggu bus,” izinku kepada penjual sambil
membeli minuman dingin bermerk Mizone di warung itu.
“Oh iya Neng, silakan
duduk aja,” balas Ibu warung kepadaku.
Teguk demi teguk aku
nikmati Mizone yang aku beli. Sudah hampir habis minumanku, tetapi belum juga
bus datang. Saat kesal menunggu bus, pandanganku tertuju pada sosok di seberang
jalan. Paras dan bentuk tubuh yang sangat aku kenal rasanya. Ia semakin
mendekat sambil menyebrang jalan. Perasaanku tepat, sosok itu adalah orang yang
sangat aku kenal. Hatiku gugup, nampak sosok itu datang mendekat.
Kak Rio namanya. Dia
seniorku di kampus dalam sebuah organisasi. Sosok yang sederhana dan kemampuan
ilmu politik yang sangat Ia kuasai membuatku menyukainya. Aku terbelunggu dan
semakin melekat sosok itu dari pandanganku yang sekarang tepat dihadapanku.
Tanpa ragu Ia menyapaku, “Je, ngapain? Masih nunggu bus?”
“Eh iya Kak, daritadi
nih nunggu nggak dateng-dateng.
Takutnya udah lewat nih bus terakhirnya,” Jawabku sok lugas.
“Kamu udah tahu busnya
susah malah pulang malem, habis ngapain emang tadi di kampus?” mengambil posisi
tempat duduk di sebelahku.
“Biasa Kak, tadi di BEM
banyak deadline. Terus ngerjain tugas
kampus,” balasku dengan pandangan yang tidak fokus.
“Ciee sibuk banget nih
ceritanya hehehe. Yauda Kakak tungguin deh sampai kamu dapet bus ya? Nggak masalahkan Kakak nemenin kamu?”
“Oh yaudah, iya Kak
boleh banget hehehe. Emang Kakak darimana?” rasa bingung yang entah terbaca
atau tidak raut muka gugupku ini oleh Kak Rio.
“Dari kontrakan temen, pinjem
buku kuliah. Tugas semakin banyak banget. Kamu udah makan belum? Nih buat kamu
aja,” menyodorkan sepotong roti tawar dengan selai cokelat yang Ia keluarkan
dari tas. Aku mengambil tawaran rotinya dengan senyum penuh rasa malu.
Sekitar dua puluh menit
Aku dan Kak Rio berbincang sambil menunggu bus. Perbincangan yang sangat
menarik tentang dirinya dan kesannya di kampus. Rasa gembiraku tak terkira bisa
berdampingan bersamanya seperti ini. Kak Rio memang sosok yang supel dan tidak
banyak gaya. Penampilan sehari-harinya yang sederhana dengan memakai kaos,
celana jeans dan tas selempang hitam
tidak membuatku bosan memandang. Celotehannya yang tidak berhenti bercerita
seakan sebuah usahanya membuat keramaian sambil menemaniku.
Pukul sembilan kurang
lima menit, terlihat dari jauh bus dengan line
kuning bernomor P54. Ya, akhirnya bus yang akan kunaiki datang. Aku senang
bisa segera pulang, tetapi aku sedih harus mengakhiri obrolanku malam ini
bersama Kak Rio. “Kak, busnya datang. Aku duluan ya Kak, makasi banget udah
nemenin aku ngobrol sampe bus dateng,” bergegas menggendong tasku dan menghampiri
bus.
“Iya, hati-hati kamu
yaa,” senyumnya merekah melepas kepergianku.
“Oh ya, terima kasih
juga Kak rotinya,” aku sedikit menoleh sambil beranjak menaiki bus. Masih
terlihat olehku lambaian tangannya tanda perpisahan malam itu.
Aku duduk dengan nyaman
di bus. Sepanjang perjalanan aku tidak bisa melupakan kejadian malam ini yang
begitu istimewa untukku. Waktu memang semakin malam, suasana yang tadi ramai
kini sepi, tetapi tidak dengan hatiku. Suasana hati masih ramai dengan
celotehan Kak Rio yang terus terngiang. Sungguh malam ini, malam yang menakjubkan.
1 comments:
jadi kak rio je?hahaha
Posting Komentar